Menurut Johnson & Johnson (1997), bukan kehadiran konfliknya, melainkan penanganannyalah yang akan menentukan apakah satu konflik bersifat konstruktif atau destruktif. Kita bisa membawa konflik menjadi konstruktif jika (a) tercapai kesepakatan yang memungkinkan semua pihak mencapai tujuan; (b) menguatkan hubungan antarpihak (menjadi lebih saling menyukai, menghargai, dan percaya); serta (c) meningkatkan kemampuan semua pihak untuk menyelesaikan konflik yang akan datang secara konstruktif.
Kurang lebih, kemampuan menangani konflik seperti inilah yang akan terasah ketika Anda memutuskan untuk menjalani creativepreneur. Mau tidak mau, kita dipaksa untuk bisa berkompromi dan bernegosiasi dengan kepentingan beragam pihak, termasuk kepentingan diri sendiri yang tidak jarang juga kompleks. Apakah kemudian kita menjadi mahir menyenangkan semua pihak? Jawabannya sama sekali tidak. Sebab, justru kita belajar untuk asertif.
Jika Anda pernah atau sedang memimpin satu tim yang terdiri atas beberapa bagian (divisi), Anda akan merasakan tuntutan untuk menjadi seorang konduktor simfoni. Perbedaannya di sini adalah ada beberapa jenis musik yang perlu kita kelola. Ada kemungkinan Anda menjadi pemimpin di satu bidang dan menjadi anggota tim di bidang lain.
Konflik yang menjadi tantangan para creativepreneur karena berada di beberapa lingkungan (tim kerja) pada prinsipnya tidak berbeda dengan konflik kerja yang ada. Hanya, seperti yang mungkin telah Anda tebak, jika Anda berkarier di satu jalur, konflik yang akan ditemui kemungkinan berada di satu jalur. Nah, sekarang bayangkan Anda berada di beberapa jalur.
Keuntungan lain seorang creativepreneur, di antaranya adalah pengetahuan atau networking di bidang karier lain tidak jarang menjadi ”penyelamat”. Dalam kondisi yang sangat menekan pun, kita akan terlatih untuk bersikap positif dan meyakini bahwa konflik tersebut dapat diselesaikan. Sikap ini tidak bisa dimungkiri karena kita memiliki pembanding yang nyata, yakni konflik yang juga pernah kita hadapi di bidang karier lain. Pandangan ini membuat kita tidak cepat berpikir bahwa masalah atau konflik yang ada akan membuat dunia berakhir.
Ini semua tidak lepas dari kemampuan kita mengelola diri, yakni satu proses yang melibatkan beragam pemikiran, afeksi (perasaan), dan tindakan yang membuat kita mampu mengarahkan tujuan aktivitas secara terarah waktu demi waktu (Karoly, 1993 dalam Latham, 2007).