Bersikap Fleksibel

Salah satu kekuatan orang-orang yang mempunyai talenta untuk bercreativepreneur adalah memiliki sikap fleksibel. Jika orang biasanya terpaku pada satu karier dan satu capaian, orang-orang creativepreneur sebaliknya, harus membuka kesempatan untuk mengembangkan bakat lain dalam dirinya. Ini hanya bisa terjadi apabila orang itu memiliki sifat yang relatif fleksibel, tidak terpaku pada satu titik tujuan yang bersifat statis. Kristal jernih fleksibilitas haruslah ia munculkan dalam diri dengan dinamis.

Penemuan diri atas kemampuan untuk creativepreneur pastilah diawali dengan sikap fleksibel dan penuh penyesuaian atas berbagai kemungkinan dalam perjalanan karier, termasuk fleksibel dalam menghadapi setiap tantangan yang ada. Beragam penawaran karier kemungkinan menghampiri orang-orang yang bersifat terbuka dan fleksibel.

Pengalaman penulis ketika pertama kali menjalani creativepreneur yakni saat menjadi reporter sebuah radio di Surabaya, sekaligus menjadi koresponden biro Surabaya untuk sebuah surat kabar yang memiliki kantor pusat di Semarang. Meskipun kedua media tersebut berbeda segmen audiennya, penulis bersedia menjalani dua karier tersebut dalam waktu bersamaan, sementara kedua media tempat penulis bernaung juga mengetahui aktivitas tersebut sehari-hari. Tentu saja fleksibilitas yang dijalani membawa konsekuensi kerja keras yang lebih dari teman kerja yang lain.

Bersikap fleksibel bukan berarti berkompromi dengan kualitas karya. Sebab, bagaimanapun kepercayaan pihak lain atas karya kita menjadi yang utama. Bersikap fleksibel bukan berarti menurunkan mutu, melainkan justru harus terpacu untuk meningkatkan mutu. Hal ini akan menjadi jaminan bahwa individu pelaksana creativepreneur adalah pribadi yang fleksibel sekaligus berkualitas.

Salah satu faktor yang berperan penting dalam membentuk fleksibilitas kita adalah berpikir terbuka dan positif. Sikap ini sangat membantu kita untuk melihat peluang meningkatkan kualitas kerja dengan mau mendengarkan pandangan orang lain ataupun situasi yang berkembang. Memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan kemampuan beradaptasi.

Contoh lain adalah dari pengalaman penulis sendiri ketika menjadi pemantau pemilu di Nepal. Kebiasaan makan di sana ternyata berbeda dari kebiasaan di Indonesia. Penduduk Nepal hanya makan dua kali dalam sehari, yakni brunch, makan di waktu antara sarapan dan makan siang sekitar pukul 11 pagi, dan makan malam.

Orang yang memiliki adaptasi tinggi bisa langsung menyesuaikan kebiasaan makan yang berbeda itu. Akan tetapi, bagi penulis, hal itu terasa berat, terlebih aktivitas turun lapangan menuntut stamina yang tinggi. Ada aktivis dari negara lain yang mengotot untuk kembali ke hotel setelah turun lapangan untuk memesan makan siang karena tidak ada rumah makan atau warung yang menyediakan makan siang. Ini adalah gambaran orang yang kaku. Adapun penulis memilih untuk fleksibel, yakni membawa bekal beragam biskuit dan wafer untuk mengganjal perut sampai malam tiba.

Jadi, seberapa fleksibelkah Anda?

 

Leave a Reply